Industri Sawit dan Perubahan Iklim: Tengku Dianingrum Serukan Aksi Nyata dari Sumut

KBA.ONE, MEDAN — Di tengah krisis iklim global yang semakin terasa, industri kelapa sawit—khususnya di Sumatera Utara—berada pada titik krusial. Di satu sisi, sektor ini menjadi penopang ekonomi nasional, namun di sisi lain, menghadapi sorotan terkait dampaknya terhadap lingkungan.
“Kelapa sawit adalah tulang punggung ekonomi. Namun, jika dikelola dengan pola lama, ia berisiko memperburuk krisis iklim,” ujar Tengku Dianingrum, Penelaah Teknis Kebijakan dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, dalam Talk Show Sosialisasi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK), Sabtu, 12 Juli 2025.
Katanya, Industri sawit bukan hanya penghasil devisa. Ia juga menciptakan lapangan kerja dan mendukung produksi energi alternatif seperti biodiesel dan bioavtur. Meski demikian, berbagai persoalan masih membayangi: deforestasi, konflik lahan, penurunan keanekaragaman hayati, hingga tingginya jejak emisi karbon.
Kebijakan Global, Seruan Lokal
Tengku Dianingrum menyampaikan bahwa arah kebijakan global menuntut perubahan. Kesepakatan Paris 2015 menetapkan target kenaikan suhu global tak lebih dari 2°C, idealnya 1,5°C. Uni Eropa bahkan menerapkan regulasi baru, EU Deforestation Regulation (EUDR), yang mewajibkan produk sawit bebas dari deforestasi.
“Ini bukan hanya soal pasar. Dunia menuntut tanggung jawab yang lebih besar dari kita,” ujarnya.
Indonesia telah merespons lewat dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), komitmen Net Zero Emission, dan Perpres No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon. Semua ini menjadi dasar bagi transisi menuju industri hijau.
Namun, menurut Tengku, kebijakan tidak cukup tanpa pelaksanaan. Sumatera Utara tidak boleh hanya menjadi pengikut. Ia harus berada di garis depan.
Sebagai salah satu wilayah penghasil sawit utama, kata Teungku, Sumatera Utara memiliki posisi strategis. Namun, perluasan kebun yang tidak terkendali berdampak serius: hilangnya habitat satwa, degradasi tanah, gangguan tata air, serta potensi bencana seperti banjir dan kekeringan.
Aspek sosial pun tidak kalah penting. Konflik lahan, ketimpangan akses, serta praktik kerja yang tidak adil masih terjadi. “Industri ini bisa menjadi berkah atau sebaliknya, tergantung cara kita mengelolanya,” jelasnya.
Perubahan Harus Menyeluruh
Transformasi industri sawit, menurut Tengku, harus dilakukan dari hulu ke hilir. Sertifikasi seperti RSPO dan ISPO perlu dijalankan dengan pengawasan ketat, bukan hanya formalitas. Praktik pembakaran lahan harus dihentikan. Limbah POME sebaiknya dimanfaatkan sebagai sumber energi melalui teknologi biogas.
Pada sisi hilir, pendekatan agroforestry, efisiensi energi, dan penguatan kapasitas petani kecil sangat penting. “Petani tidak boleh ditinggalkan. Mereka bagian dari solusi,” tegasnya.
Dengan kekayaan alam dan sumber daya manusia yang mumpuni, kata Teungku, Sumatera Utara dinilai punya peluang besar menjadi contoh nasional dalam reformasi industri sawit yang berkelanjutan. Namun itu hanya bisa tercapai jika ada dukungan politik, kemitraan yang setara, dan keterlibatan aktif masyarakat.
“Rantai pasok harus transparan, pengelolaan limbah dilakukan secara sirkular, dan pelaporan emisi dijalankan secara terbuka. Dengan begitu, kita tidak hanya menjaga ekonomi, tetapi juga menjaga masa depan,” ujarnya.
Tengku menutup dengan mengingatkan bahwa industri sawit tidak harus menjadi beban bagi iklim. Sebaliknya, ia bisa menjadi bagian dari solusi—asal ada langkah nyata dari seluruh pemangku kepentingan.
“Kita tidak hanya menjalankan bisnis, tetapi membangun fondasi keberlanjutan,” pungkasnya.
Ini adalah Komitmen Industri Kelapa Sawit di Sumatera Utara seperti yang dipaparkan Tengku Dianingrum.
1. Sertifikasi dan Kepatuhan
- Mengikuti standar sertifikasi keberlanjutan (RSPO, ISPO).
- Mematuhi regulasi lingkungan dan sosial.
2. Praktik Pertanian Berkelanjutan
- Penggunaan pupuk yang efisien.
- Pengelolaan air secara tepat.
- Pelestarian keanekaragaman hayati.
3. Larangan Pembakaran
- Menghentikan praktik pembakaran lahan.
- Pemanfaatan PLTB untuk menekan emisi dan mencegah kabut asap.
4. Pengurangan Emisi di Pabrik (PKS)
- Pengolahan limbah cair (POME) menjadi biogas.
- Efisiensi energi dalam proses produksi.
5. Rantai Pasok Berkelanjutan
- Pendampingan petani kecil untuk menerapkan:
o Praktik ramah lingkungan,
o Teknologi rendah karbon,
o Energi terbarukan dan efisiensi energi.
6. Pengelolaan Limbah Secara Sirkular
- Reuse, recycle, dan recovery limbah produksi.
- Mendorong ekonomi sirkular di sektor sawit.
7. Sertifikasi dan Transparansi
- Memiliki sertifikasi hijau.
- Pelaporan emisi dan jejak karbon secara terbuka dan akuntabel. ***